Perangkap Aesthetic: Algoritma dan Identitas di Media Sosial

Perangkap Aesthetic: Algoritma dan Identitas di Media Sosial

Gulir sebentar laman media sosial Anda, dan Anda akan segera tenggelam dalam lautan visual yang terkurasi sempurna. Mungkin Anda melihat seorang gadis dengan gaun linen sedang memanggang roti di pedesaan (Cottagecore), atau seorang pemuda ber-turtleneck di perpustakaan remang-remang sambil membaca sastra klasik (Dark Academia). Inilah dunia ‘aesthetic’—subkultur digital yang menawarkan paket lengkap identitas visual, mulai dari pakaian, hobi, hingga palet warna kehidupan. Kelihatannya seperti surga ekspresi diri, namun di baliknya ada sebuah mesin tak terlihat yang bekerja: algoritma.

Fenomena ini lebih dari sekadar tren mode. Ini adalah studi kasus tentang bagaimana teknologi membentuk—dan mungkin mengurung—identitas kita. Algoritma tidak hanya menyarankan konten; ia secara aktif membangun gelembung realitas yang sempit, mengubah penemuan jati diri menjadi sebuah jebakan konsumerisme yang indah secara visual.

Dari Ekspresi Diri ke Identitas Siap Saji

Pada awalnya, ‘aesthetic’ adalah cara bagi individu untuk menemukan komunitas dengan minat serupa. Mereka berbagi bahasa visual, inspirasi, dan rasa memiliki. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Pinterest menjadi kanvas raksasa bagi tumbuhnya ribuan ‘micro-aesthetics’, mulai dari ‘Fairycore’ yang magis hingga ‘Cyberpunk’ yang futuristik.

Namun, seiring waktu, apa yang dimulai sebagai ekspresi organik berubah menjadi serangkaian “aturan” tak tertulis. Setiap aesthetic kini memiliki “starter pack”-nya sendiri: buku yang harus dibaca, film yang wajib ditonton, merek pakaian yang harus dibeli. Identitas tidak lagi ditemukan, melainkan diadopsi secara grosir. Di sinilah peran algoritma menjadi sentral.

Mesin di Balik Gelembung: Cara Kerja Perangkap Algoritma

Algoritma media sosial dirancang untuk satu tujuan utama: menjaga Anda tetap di platform selama mungkin. Caranya adalah dengan memberi Anda lebih banyak hal yang sudah Anda sukai. Proses ini menciptakan sebuah siklus (feedback loop) yang kuat:

  1. Pemicu Awal: Anda menyukai satu video tentang membuat taman herbal (sedikit sentuhan Cottagecore).
  2. Respons Algoritma: Algoritma menandai Anda sebagai “tertarik pada Cottagecore”. Laman ‘For You’ atau ‘Explore’ Anda mulai dibanjiri dengan konten serupa: gaun vintage, resep kue, interior rumah pertanian.
  3. Penyempitan Realitas: Konten di luar gelembung ini (misalnya, seni jalanan, fashion minimalis, atau musik elektronik) mulai jarang ditampilkan. Dunia digital Anda menyempit.
  4. Penegasan Identitas: Karena terus-menerus terpapar satu jenis estetika, Anda mulai percaya, “Inilah saya.” Anda mulai membeli barang-barang yang sesuai, lebih jauh memperkuat sinyal ke algoritma.

Anda tidak lagi secara aktif memilih. Anda dikurasi. Algoritma bukan hanya memprediksi minat Anda; ia secara aktif membentuknya.

Studi Kasus: Ilusi Kehidupan Sempurna

1. Cottagecore: Eskapisme dari Dunia Modern

Cottagecore meromantisasi kehidupan pedesaan yang sederhana, mandiri, dan selaras dengan alam. Popularitasnya meledak selama pandemi sebagai penawar dari kecemasan dan isolasi kehidupan kota. Namun, di balik gambar padang rumput yang indah, ada tekanan untuk menampilkan kesederhanaan yang mahal. Gaun linen organik, peralatan memanggang artisan, dan keranjang piknik yang sempurna—semuanya adalah produk yang mengubah eskapisme menjadi performa konsumerisme.

2. Dark Academia: Intelektualisme sebagai Aksesori

Dark Academia memuja estetika kampus klasik, pengetahuan, dan sentuhan gotik. Ini menarik bagi mereka yang merindukan kedalaman intelektual di dunia yang serba cepat. Namun, seringkali fokusnya bergeser dari benar-benar membaca buku menjadi sekadar memotret tumpukan buku klasik dengan filter yang tepat. Intelektualisme menjadi aksesori, dan kedalaman digantikan oleh penampilan luar yang “terlihat pintar”.

Sisi Gelap Kehidupan ‘Aesthetic’

Perangkap algoritma ini memiliki dampak nyata pada kesehatan mental dan perkembangan identitas, terutama bagi kaum muda:

  • Homogenisasi Kreativitas: Alih-alih mendorong keunikan, aesthetic justru menciptakan ribuan “klon” yang mengikuti formula visual yang sama.
  • Kecemasan Performa: Ada tekanan konstan untuk hidup sesuai dengan standar aesthetic yang tidak realistis, menyebabkan perasaan bahwa kehidupan nyata seseorang tidak cukup “indah” atau “menarik”.
  • Identitas sebagai Tren: Ketika identitas terikat pada tren yang cepat berlalu, seseorang bisa merasa kehilangan jati diri saat tren tersebut memudar.

Kesimpulan: Membebaskan Diri dari Kurasi Algoritma

Aesthetic itu sendiri tidak jahat. Mereka bisa menjadi sumber kegembiraan, inspirasi, dan komunitas yang valid. Masalahnya muncul ketika kita menyerahkan kendali penemuan diri kita kepada mesin yang dirancang untuk menjual produk dan perhatian kita.

Langkah pertama untuk keluar dari perangkap ini adalah kesadaran. Sadari bahwa apa yang Anda lihat di feed Anda adalah versi realitas yang sangat sempit. Secara aktif cari minat di luar gelembung Anda. Ikuti kreator dengan gaya yang berbeda. Izinkan diri Anda untuk menjadi tidak konsisten—menyukai gaun bunga hari ini dan jaket kulit besok. Identitas sejati itu rumit, berantakan, dan tidak selalu ‘aesthetic’. Dan justru di dalam ketidaksempurnaan itulah keindahan yang otentik berada, jauh dari jangkauan kurasi algoritma mana pun.